Petualang Cinta III
Sambungan dari bagian 02
Titik-titik keringat mulai tampak di tubuh Nova meski AC sangat dingin.
Tubuh lencir atletis itu kini tampak lunglai seperti selembar handuk,
dan pasrah saja ketika Mbak Ida menelentangkannya di karpet dan
menjilat-jilat paha bagian dalamnya. Saat diperlakukan seperti itu,
Nova menggeliat-geliat seperti kesetanan sambil mengaduh-aduh keras dan
kedua tangannya berpegangan pada kepala Mbak Ida di selangkangannya.
Melihat kondisi itu, otot-otot kewanitaanku tiba-tiba mengejang
menangkap jari tengah Beni yang sedang berada di dalamnya. Merasakan
jarinya dijepit begitu, Beni malah menggerakkannya keluar masuk
kewanitaanku dengan cepat sambil mengait-ngait di dalam, tentu saja
tubuhku jadi terjingkat-jingkat kegelian dan punggungku melengkung
seperti busur panah. Kudekap kepala Beni yang menempel pada puting susu
kiriku agar ia tak menghentikan hisapan dan jilatannya pada puting yang
telah mengeras ini. Rintih dan eranganku ikut terdengar memenuhi
ruangan, menutupi lembutnya alunan saxophone Kenny G.
Aku benar-benar telah terangsang hebat. Aku tidak lagi mempedulikan
Nova dan Mbak Ida yang kini tengah berpelukan erat sambil paha-paha
mereka saling menggesek kewanitaan mereka. Aku bangkit dari duduk dan
menunggingkan badanku, mempersilakan Beni menikamkan kejantanannya.
Sejenak Beni melepaskan tubuhku, terdengar suara kain berjatuhan saat
Beni membuka Jeans-nya, lalu tubuhku segera terasa penuh terjejali
benda hangat yang keras dan tegang, yang membuatku langsung terpejam
dan menengadahkan kepala menahan rasa nikmat tak terkira ini. Aku
setengah membuka mata sambil meringis-ringis keenakan. Kedua alisku
kini menyatu di keningku, mengikuti ekspresi penuh birahi dari Nova dan
Mbak Ida di karpet. Terasa pinggul Beni menabrak-nabrak pantatku ketika
ia menggerakkan tubuhnya maju mundur. Gesekan kejantanannya terasa
membuat dinding-dinding kewanitaanku menjadi panas dan berdenyut.
Otot-otot di dalam sana berusaha mencengkeram kejantanan yang
bertekstur kasar itu. Aduuhh, rasanya nikmat sekali disetubuhi dari
belakang sambil menatap tubuh kawan sekantorku dinikmati habis-habisan
oleh seorang wanita petualang berpengalaman.
Bermenit-menit lamanya posisi tidak berubah, namun kenikmatan serta
sensasi yang kurasakan terasa kian memenuhi batinku. Badanku terasa
begitu nikmat digempur oleh kejantanan Ben, apalagi kedua telapak
tangannya kini berada pada payudaraku dan memencet-mencet puting
susuku. Uhh, enak sekali rasanya. Dari atas ranjang besar ini, aku
melihat tubuh-tubuh indah Mbak Ida dan nova kini saling berdekapan
makin erat dan kaki-kaki mereka semakin cepat bergerak pada
selangkangan mereka, lalu kedua tubuh semampai itu tiba-tiba mengejang
dan wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi kosong yang setengah
memejamkan mata dan mulut menganga. Lalu keduanya lunglai di atas
karpet sambil terengah-engah dan tetap berpelukan.
Aku membayangkan nikmat dan hangatnya puncak yang telah mereka
capai dan menggoyang-goyangkan pinggulku untuk berjuang mencapai
puncakku sendiri. Beni tampaknya juga dapat bekerja sama, ia mengikuti
gerakan-gerakanku. Namun tidak semuanya sesuai harapan, tiba-tiba Beni
mencabut kejantanannya dan melepaskan kedua payudaraku. Aku masih tetap
menungging pada kedua lututku di ranjang ketika cairan panas terasa
menyemprot ke punggungku. Ahh, sial benar nasibku. Beni telah mencapai
puncaknya, dan kini duduk di tepi ranjang sambil terengah-engah pucat.
"Mm.. maafkan saya, Bu.." kata Beni terbata-bata.
"Hmmhh.." Aku menarik nafas panjang sambil menatap kedua matanya penuh rasa marah.
"Nggak apa-apa kok Ben, kamu hebat sekali", Jawabku setelah menguasai emosi.
"Dah, tidur di kamarmu sana!" Beni lalu berjalan tertatih-tatih
keluar kamar. Aku menatapnya dengan rasa benci, dasar pria tidak
bertanggung jawab! Mending kalau dia suamiku, tapi dia hanya pembantu
kawanku, sebal sekali rasanya. Kutelentangkan diri di ranjang besar itu
menatap ke langit-langit yang berhiaskan cermin di sana-sini. Menatap
bayangan tubuhku sendiri yang gelisah di atas sprei putih yang kusut,
menatap bayangan tubuh Nova dan Mbak Ida yang masih saling berpelukan
di karpet sambil terpejam dengan ekspresi puas. Sungguh tidak adil,
pikirku. Karena birahiku sulit kutahan, akhirnya aku melakukan apa yang
selama ini pantang kulakukan, yaitu memuaskan diri sendiri.
Kupejamkan kedua mataku, aku berkonsentrasi penuh membayangkan
postur tubuh laki-laki idamanku, The Big D! Kubasahi ujung jariku
dengan lidah, lalu kupilin-pilin kedua putingku, membayangkan ia sedang
mengulum-ngulumnya. Hmm.. tidak terasa seperti dikulum beneran, tapi
siapa peduli itu di tengah kondisi seperti sekarang. Kutekan-tekan
sendiri klitoris dan liang kewanitaanku yang terasa becek dan hangat.
Uhh.. cukup lama juga aku menggeliat-geliat sendiri di atas ranjang
besar itu sambil kedua tanganku menjamah tubuhku sendiri. Sampai
tiba-tiba aku merasakan kasur bergerak-gerak karena ada orang lain yang
naik ke ranjang. Ah, pasti Mbak Ida ingin memanfaatkan situasi,
pikirku. Tadinya aku ingin menolak, tapi kuurungkan niatku karena ingin
mencapai puncak yang sejak tadi tidak kesampaian. Kubiarkan saja ia
menjamah tubuhku sambil aku tetap dengan setia membayangkan bahwa The
Big D lah yang melakukannya padaku.
Terasa jilatan-jilatan dari lidah dan bibir yang halus dan hangat
menyapu kedua putingku bergantian, pelukan hangat terasa seperti
menyelimuti tubuh rampingku, dan sebuah paha halus menyelip di antara
kedua tungkaiku, menggosok-gosok di situ. Sebuah jari lentik menyusul
masuk ke dalam liang kewanitaanku, disusul satu jari lagi hingga kini
dua jari berdesakan di dalam liang kewanitaanku. Uhh.. semuanya
membuatku seperti melayang-layang di udara. Ahh, aku tidak tahu apa
lagi yang terjadi, yang jelas seluruh tubuhku seperti diselimuti
kehangatan yang amat nyaman. Sentuhan jemari-jemari lentik dan bibir
lembut bergantian menyapu ke sekujur badan ini, memercikkan bunga-bunga
api birahi yang makin lama makin terasa hangat dan nikmat. Kedua jari
dalam liang kewanitaanku pun menari-nari dengan gemulai seolah sudah
mengenal betul tempat-tempat yang harus dihinggapinya. Ahh.. nikmat
sekali, meski aku memejamkan mata, aku seperti dapat melihat tubuhku
sendiri sedang menggelinjang-gelinjang dan mengerang-ngerang dijilati
oleh lidah-lidah api birahi ini.
Tidak seperti biasanya, puncak kenikmatan kali ini terasa datang
perlahan-lahan dan lembut. Kehangatan tiba-tiba menyelimuti tubuhku
ketika aku merasakan tubuhku dipeluk dengan hangat dan erat serta
leherku dihujani ciuman, menambah kenikmatan di puncak yang kini baru
saja kurasakan. Hm.. terbayang wajah dan tubuh The Big D memelukku
dengan penuh kasih sayang. Sulit juga membayangkan otot-otot padatnya,
karena yang kurasakan menempel di dadaku sekarang adalah payudara
wanita lain, dan bukannya dada The Big D yang bidang dan ditumbuhi
rambut-rambut halus itu. Tapi rasa nikmat terus mengguyur sekujur
tubuhku, hingga sempat aku tak ingat apa-apa untuk beberapa detik.
Pelan-pelan gelombang kenikmatan itu meninggalkan diriku,
membiarkan kesadaranku kembali mengambil alih. Masih terasa dekapan
hangat pada tubuhku. Terpikir juga olehku untuk mengucapkan terimakasih
nanti pada Mbak Ida, sekaligus mengucapkan selamat karena ia berhasil
menjamah tubuhku kali ini. Hmm.. hampir aku membuka mata, namun
kuurungkan niatku karena masih ingin menikmati kehangatan pelukan yang
somehow terasa penuh kasih sayang ini. Aku mempererat pelukanku pada
tubuh semampai yang menindihku itu, sampai aku menyadari bahwa bahu
tempat daguku bersandar terasa lebar dan berotot kencang seperti bahuku
sendiri. Ah.. Aku hampir tidak percaya.
Pelan-pelan aku membuka mata, dan menatap tajam ke arah cermin di
langit-langit yang kini menunjukkan dengan jelas siapa yang bercinta
denganku barusan.
"Nova?" Aku menjerit agak membentak sambil melepaskan pelukan
hangat itu. Kulihat Nova agak terkejut. Tubuh telanjangnya kini
teronggok di sampingku dengan tangannya masih memegang bahuku. Wajahnya
tampak sayu meski dipenuhi ketakutan. Sorot matanya tampak menyesal dan
menatap sendu ke arah mataku. "Hey, apa yang kau lakukan?" tanyaku
setengah membentak tanpa mengharapkan jawaban. Dan memang Nova tidak
menjawab. Ia hanya menatapku dengan wajah manisnya yang kini tampak
sedih. Bibirnya bergerak-gerak pelan meski terkatup rapat, dan matanya
yang biasanya tajam itu kini digenangi setetes air yang kemudian
bergulir jatuh melewati pipinya.
Aku tidak mempedulikannya dan segera bangkit berdiri dari ranjang.
Dengan tanpa berusaha menutupi ketelanjanganku, aku melangkah cepat ke
arah pintu, dan bergegas kembali ke kamar mandi dan mengguyur kepalaku
dengan air dingin. Tanpa menunggu badanku kering, aku melanjutkan
langkah kembali ke ruang tamu, mendapati pakaian kerjaku tergeletak
kusut di meja makan, dan segera mengenakannya kembali pada tubuhku yang
masih basah. Aku terduduk di kursi sambil kedua sikuku bertelekan di
meja dan telapak tanganku mencengkeram kepalaku sendiri, menyesali yang
terjadi barusan. Bukan diriku sendiri yang kusesali, melainkan Nova.
Anak muda yang manis itu, yang dulunya lugu namun cerdas, yang secara
tak sengaja terseret dalam pola hidupku, yang kini terseret makin jauh.
Ah, karena selama ini aku memproyeksikan Nova untuk bisa
menggantikan posisiku di perusahaan, mungkin karena aku juga
bercita-cita untuk merubah hidupnya yang dulu kurang bahagia, mungkin
juga karena aku sudah begitu mencintai dan menganggapnya seperti adikku
sendiri, dan jelas-jelas telah membawanya pada kehidupan yang seperti
ini. Apakah aku sudah menyeretnya terlalu jauh di luar kemauan kami
sendiri? "Sari!" suara berat Mbak Ida tiba-tiba mengejutkanku. Aku
melepaskan cengkeramanku pada kepalaku sendiri, mengusap mataku yang
tadi agak berkaca-kaca, dan menatap tajam ke arah wanita itu dengan
sorot mata sangat menyalahkan. "Kamu mau nyalahin aku lagi?" tanyanya
dengan nada datar sambil terus menatap mataku dari seberang meja makan.
Ia masih mengenakan kimono hitam tipisnya yang tadi sempat
kukenakan. Tali kimono dibiarkannya tidak terikat hingga separuh
tubuhnya terlihat jelas. Rambut merahnya pun masih belum benar-benar
kering, hingga penampilannya secara keseluruhan terlihat agak
menakutkan.
"Ini memang yang kamu mau 'kan, Mbak?" tanyaku kembali dengan nada tajam.
Mbak Ida menggelengkan kepala sambil memejamkan mata.
"Nggak", jawabnya singkat.
"Kamu terlalu memaksakan dia untuk menjadi seperti kamu", lanjut
Mbak Ida sambil berdiri dari kursinya dan melangkah ke arah rak buku di
sudut ruang tamu. Aku diam saja, sambil terus mengikuti ke mana
jalannya tubuh semampai itu.
"Apakah itu salah?" tanyaku padanya, seperti tidak mengharap jawaban.
"Nggak!" jawab Mbak Ida tetap membelakangiku.
"Sama sekali nggak salah."
Aku tetap terdiam sambil menatapnya mengambil sebuah buku dan
membalik-balik beberapa halaman, menyelipkan sebuah pembatas halaman
pada halaman yang dikehendakinya, lalu kembali menghampiri meja sambil
menatap wajahku. Diletakkannya telapak tangan kirinya di bahuku sambil
memijit-mijit kecil, aku membiarkannya berbuat begitu sambil menunggu
kata-katanya lagi.
"Orang seperti kamu, yang kepala batu dan berambisi tinggi.."
katanya seperti setengah berbisik, "..yang merasa serba bisa, dan
merasa paling kuat.." Ia berhenti sejenak sambil mengangkat tangannya
dari bahuku, "..pengen mencoba merubah kehidupan seorang yang lugu
seperti Nova? Agar dia bisa jadi seperti kamu? Agar dia bisa hidup
bahagia dan bebas seperti kamu? Agar dia bisa memilih ke mana akan
hinggap dan tidak harus menunggu dihinggapi?" Cerocosnya dengan nada
menyalahkan, ia menyebutkan kembali semua kalimat yang pernah kukatakan
padanya tentang filosofi hidupku, tentang ambisi pengejaran cita-cita
dan pola pikir "struggle for excellence"
yang selama ini aku anut. Entah kenapa, tapi kata-kata Mbak Ida seperti
membuatku jadi merasa makin tidak enak dan merasa bersalah. "Cobalah
sekali-sekali ngaca, Sar!" Serunya lagi sambil meletakkan buku yang
baru diambilnya di hadapanku, "Coba pikir siapa sebenarnya kamu.. apa
yang sebenarnya kamu kejar.. apa kamu yakin kalau orang lain juga bisa
mengikuti pola pikir kamu?" Dagunya bergerak ke atas sedikit, memberiku
komando agar melihat ke arah buku yang diletakkannya tadi.
Tanganku bergerak meraih buku hard cover bersampul cokelat gelap itu, Becoming a Person of Influence judulnya. Pelan-pelan aku membuka halaman yang oleh Mbak Ida telah
diberi pembatas. Di situ tertulis sebuah salinan dari sebuah batu nisan
di Inggris, yang bunyi terjemahannya kurang lebih begini, "Semasa
mudaku, aku bercita-cita mengubah sikap dunia. Namun ternyata tidak
mudah. Setelah aku beranjak dewasa, aku bercita-cita mengubah sikap
negaraku. Namun ternyata tidak mudah juga. Setelah aku beranjak tua,
aku bercita-cita mengubah sikap keluarga dan sahabat-sahabatku. Namun
ternyata sudah terlambat. Kini, di akhir hayatku aku terpikir,
seandainya sejak awal aku mengubah sikapku sendiri, mungkin keluarga
dan sahabat-sahabatku akan ikut berubah sikap, dan mereka bisa membawa
perubahan pada negaraku. Dan jika negaraku berubah lebih baik,
pengaruhnya akan mengubah sikap dunia menjadi lebih baik." Sejenak aku
merenungi tulisan yang baru kubaca. Tulisan itu seperti menyadarkan
diriku tentang apa yang seharusnya lebih kupikirkan tentang diriku,
tentang masa depanku, dan tentang kehidupan orang lain di sekitarku.
Lama setelah itu, Nova muncul dari kamar mandi dengan mengenakan
kimono handuk berwarna merah muda. Tanpa berkata apa-apa dan tanpa
melihat ke arahku, ia mengambil pakaian kerjanya di meja makan, lalu
membawanya kembali ke kamar mandi, untuk beberapa detik kemudian ia
keluar lagi dengan sudah mengenakan pakaian kerja yang tadi dipakainya
kemari. "Aku rasa sudah waktunya kalian untuk pulang", ujar Mbak Ida
dengan nada datar sambil tidak melihat ke arah kami. Tanpa banyak
basa-basi, aku dan Nova melangkah keluar ruangan. Di beranda, Lubas
Herera memandangi kami dan berjalan mengikuti kami sampai ke gerbang
yang tidak terkunci. Aku melangkah masuk ke Katana hijauku, dan Nova
menyusul setelah menutup gerbang dan mengunci gemboknya, meninggalkan
Lubas Herera yang kini berdiri dengan dua kaki belakangnya hingga
kepalanya seperti melongok keluar dari lubang di gerbang kayu itu.
Tatapan bodohnya mengiringi kepergian kami.
Di dalam mobil, Nova meminta maaf padaku dan mengatakan bahwa ia
melakukannya padaku tadi karena menyayangiku. Aku menarik tubuhnya dan
membiarkannya bersandar pada bahu kiriku sementara aku mengemudi.
Kubiarkan ia menangis sejadi-jadinya di bahuku. Meratapi kesepiannya
sekarang, meratapi kesendiriannya di kota S, kota yang semula dijadikan
tumpuan harapannya untuk masa depan yang baik. Sambil mengemudi, tanpa
terasa pipiku sendiri juga dialiri air dari mataku. Aku menenangkan
Nova dan menyatakan pengertianku padanya.
Kami berjanji untuk tetap tidak mengulangi kesalahan yang seperti
tadi, sekaligus menyatakan diri untuk saling menganggap adik-kakak,
agar hubungan kami lebih dari sekedar teman sekerja. Aku pun berjanji
pada diriku sendiri untuk lebih memberikan pengertian pada Nova, bahwa
perburuan yang selama ini terjadi bukannya didasari oleh pemuasan
kebutuhan, melainkan untuk mencari yang terbaik. Oke, kadang-kadang
memang ada dorongan yang tak terelakkan untuk lebih mementingkan
kebutuhan diri. Namun pikiran logis dan akal sehat tetap harus
menduduki prioritas pertama. Aku mengantar Nova kembali ke pondokannya,
lalu memacu Katana hijau sekencang-kencangnya kembali ke The Huntress's Lair nama yang diberikan oleh The Big D untuk tempat tinggalku di apartemen P di ujung barat kota.
Nah, ceritanya sudah selesai. Sekedar info, teman saya Nova itu kini
sudah menikah dengan seorang banker sukses, dan memiliki seorang anak
laki-laki yang manis seperti ibunya. Sebenarnya banyak petualangan yang
saya lewatkan bersamanya. Namun kini ia tidak lagi mengembara, tidak
juga menggantikan posisi lama saya di kantor. Ia lebih memilih hidup
bahagia bersama keluarganya dan mengelola usahanya sendiri. Mbak Ida
kini juga sudah pensiun dari avonturirnya. Ia hijrah ke Aussie untuk
menetap bersama kekasihnya, seorang wanita pengusaha yang juga sukses
di bidang real estate. Sementara saya sendiri? Well, goals saya adalah
mencapai posisi tertinggi di kantor dalam beberapa bulan ke depan,
menikah, lalu mengundurkan diri dari jabatan bergengsi itu untuk
mengelola bisnis sendiri bersama pasangan saya. Semoga apa yang saya
pelajari dari kehidupan ini bisa berguna untuk masa depan saya, dan
masa depan generasi berikutnya. Semoga juga saya mampu memperbaiki diri
saya sendiri dulu, seperti di kutipan buku yang ditunjukkan Mbak Ida
pada saya tadi.
TAMAT
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1974